Minggu, 06 November 2016

jadi, gimana?

saat itu stasiun kota malang terlihat cukup ramai.
setiap orangnya tenggelam dalam kesibukannya masing-masing.
begitu pula aku. aku juga tenggelam dalam kesibukkan orang lain.
menikmatinya sangat menyenangkan. seakan hidupmu ikut ramai disaat sebenarnya kamu sendirian.


perjalanan malang-surabaya seakan telah menjadi ritual rutinku.
ritual rutin yang aku jalani sendiri.
walaupun gerbongmu penuh dengan orang, tapi ketika tidak ada satu pun yang kamu kenal, kamu tetap akan masuk kategori "sendirian".

suatu ketika, ketika aku sedang mengamati seorang wanita yang terlihat kesal dengan suaminya (ini hanya asumsiku), terdengar lelaki menyapa.

'Hai!'

dan aku hanya menoleh serta memberinya pandangan datar.
bukan, bukan karena aku merasa terganggu atau apa, aku hanya menunggu kalimat setelah sapaan itu.
karena mungkin dia bingung meresponku yang hanya memandangnya tanpa ekspresi, akhirnya dia melanjutkan,

'5D?'

oh, ternyata penghuni bangku sebelahku.
enggan mengeluarkan energi untuk bersuara, aku memilih untuk mengangguk samar lantas kembali mengamati hal lain.
bagiku, penghuni-bangku-sebelah bukanlah kawan perjalanan. dia orang asing. bisa diibaratkan juga seperti AC yang sekarang setia terpasang di kereta api kelas ekonomi. memang selalu ada, tapi tidak untuk diberi perhatian lebih karena keberadaannya adalah hal yang wajar.

'mau kemana mbak?'

ah, tipe sok kenal. 
pengalamanku menaiki kereta mengajarkan banyak tipe penghuni-bangku-sebelah versiku sendiri. 
dan salah satunya adalah tipe sok kenal yang secara resmi aku nobatkan padanya setelah dia mengucapkan kalimatnya yang ketiga kepadaku. aku tidak memerlukan izinnya untuk memberinya julukan karena hal ini hanya terjadi di dalam pikiranku. so, ini hak prerogatifku.

'Surabaya'

jawabku pendek seraya mengeluarkan buku dari dalam tas dan mulai membuka halamannya.
sebenarnya aku tidak suka membaca di dalam kendaraan, apa pun itu. namun demi memberi kesan jangan-ganggu-saya-sibuk, mataku mulai menyusuri kata demi kata yang aku sendiri juga tidak begitu meresapi maknanya. tapi itu adalah taktik paling jitu untuk menghindari basa basi yang aku anggap sangat tidak perlu. 

selang beberapa lama, mataku mulai lelah. aku memutuskan untuk menutup buku dan mulai menikmati pemandangan dari jendela kereta. namun seketika aku merasa diawasi. aku menoleh ke sebelahku dan memergoki penghuni-bangku-sebelah-tipe-sok-kenal sedang memandangiku. aku tidak tahu sudah seberapa lama dia melakukan itu. tapi begitu melihatku memandangnya balik, dia mulai salah tingkah. merasa terganggu, aku bertanya pendek,

'Ya?'

'Mmm.. engga ada apa apa kok hehe'

klise. jawaban klise.
namun aku memutuskan untuk tidak ambil pusing dan kembali tenggelam dalam lamunan kesibukan pikiranku.

begitulah aku di kereta. aku hampir tidak pernah peduli dengan penghuni-bangku-sebelah kecuali orang yang sudah sepuh. beliau suka menyapa dengan ramah, bertanya ini-itu, yang sering kali aku jawab dengan baik hanya untuk memenuhi etika komunikasi. TBH, bukan karena aku tertarik. karena sikapku itu, sering kali bahkan aku tidak menyadari penghuni-bangku-sebelah yang sudah turun dari kereta. seperti saat ini, ketika aku bersiap siap untuk turun dari kereta, ternyata penghuni-bangku-sebelah-tipe-sok-kenal sudah raib.

namun, takdir memang bukan kuasa kita.
sering kali aku akan segera melupakan (atau bahkan aku tidak tahu sedikit pun) penghuni-bangku-sebelah.
kali ini dan beberapa kali yang lainnya, takdir ternyata membawa penghuni-bangku-sebelah-tipe-sok-kenal kembali.
tiba tiba saja dia sering sekali duduk di sekitarku. entah sebelah atau depanku.
dan dia tetap sama. tetap sok kenal.
semakin lama dia semakin menjadi.
taktik membuka buku (iya, bukan membaca) sudah tidak mempan. dia masih akan melemparkan berbagai pertanyaan untuk sekedar memancingku keluar dari kesibukan pikiranku.

namun, sekali lagi, sama halnya dengan takdir.
perasaan juga bukan kuasa kita.
entah mulai kapan, aku mulai menyimak berbagai pertanyaan darinya. makin lama aku juga memberi respon dengan baik. bukan untuk pemenuhan etika komunikasi, tapi memang aku tertarik oleh pembawaannya yang membawaku keluar dari segala kenikmatan duniaku sendiri yang selama ini aku jalani.

aku juga jadi tahu kalau kita memiliki tujuan yang sama, Kota Surabaya.
tapi kita harus berpisah di stasiun yang berbeda.
penghuni-bangku-sebelah-tipe-sok-kenal itu turun di stasiun sebelumku.
aku, yang awalnya tidak mempedulikannya berubah menjadi merindukannya.
perjalanan yang dulu selalu bisa aku nikmati tanpa mempedulikan orang lain berubah menjadi perjalanan yang hanya bisa aku nikmati apabila bertemu dengannya.
jarak antara stasiunnya dan stasiunku serasa berkilo kilo meter jauhnya. jarak yang membuatku ingin selalu kembali menyusuri rel kereta hanya agar kembali bertemu dengannya dan ceritanya. 

tujuan kita sama, tapi stasiun kita berbeda.
kesempatan untuk menikmati Surabaya bukanlah hal yang tidak mungkin. tapi karena stasiun kita berbeda, dan tidak mungkin kita paksakan sama, kita harus mencari jalan lain untuk bisa bersama menikmati Surabaya. tujuan kita.

jadi, gimana?   

5 komentar:

  1. dadio pegawai kereta api ae mik ben iso ketemu terus wkwkwk

    BalasHapus
  2. Kalo yg sepuh aku selalu suka, banyaaaak bgt yg bisa diambil pelajaran.

    BalasHapus
    Balasan
    1. ini fiksi kok dung hehe bukan kejadian nyata :D
      kalo aslinya mah aku juga suka ngobrol sama yang sepuh

      Hapus
  3. habisnya sifat si 'aku'nya kan mike banget wkwk

    BalasHapus